HOME / NEWS

Oriental Jawa : Akulturasi Budaya Nusantara dan Cina lewat Kuliner

Food & Beverages

/ 2023-01-23

Oriental Jawa : Akulturasi Budaya Nusantara dan Cina lewat Kuliner

hariansurabaya.com | SURABAYA – Berawal dari budaya Cina yang masuk ke Indonesia dan bisa diterima dengan tehnik kuliner yang lebih maju dan modern. Begitu juga sebaliknya, kekayaan rempah Indonesia yang banyak digunakan masakan nusantara menarik bangsa Cina untuk datang ke Indonesia. Selain tujuan untuk berdagang dan bekerjasama dengan kerajaan-kerjaan di nusantara dengan Kekaisaran di Cina.

Kedatangan para pedagang Cina yang dipimpin Laksamana Cheng Ho di Semarang pada tahun 1412 membuktikan bahwa peristiwa tersebut mempengaruhi perbauran budaya Cina dan budaya Jawa. Hubungan perdagangan yang terjadi ketika itu masih berlanjut hingga sekarang. Para pendatang Cina belakangan ke Jawa memutuskan menetap. Mereka disambut penduduk setempat tetapi karena perbedaan budaya para pendatang Cina itu hidup dalam komunitasnya sendiri yang dikenal sebagai Pecinan.

Dalam komunitas Pecinan itu, para imigran Cina memperlihatkan ethos kerja keras. Mereka mulai bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Dengan kerja keras itulah mereka memberi contoh dan pengaruh pada warga asli yang melihat bahwa kesejahteraan keluarga dapat dicapai melalui kerja keras dalam bisnis.

Tujuan penulisan ini memperkenalkan inkulturasi sebagai hasil generasi Imigran Cina yang lahir dan menetap di Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang dikenal dengan nama
Cina Peranakan. Pengaruh Cina seakan menancap dalam kuliner Nusantara. Saking kuatnya, kadang pengaruh ini tidak disadari karena telah dianggap makanan lokal.

Keadaan ini sedikit berbeda dengan, katakanlah, pengaruh masakan India
atau Thailand yang relatif lebih mudah disadari Indonesia yang terletak di jalur perdagangan dunia membuatnya ramai sebagai titik temu bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia. Persilangan budaya menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia, termasuk dalam urusan lidah dan perut. Kini, orang Indonesia mengenal berbagai jenis masakan dengan pengaruh Barat, Arab, dan tentu saja, Tionghoa.

Kuliner Cina sendiri memiliki berbagai jenis gaya masakan yang mendunia. Secara umum, aneka ragam gaya masakan Cina dikelompokkan ke dalam delapan wilayah utama. Lantas, gaya masakan mana yang mendominasi kuliner Indonesia? Jawabannya, gaya masakan Fujian. Fujian merupakan provinsi yang terletak di sisi tenggara Cina, berbatasan langsung dengan Selat Taiwan di sisi selatan. Rasa yang kaya dan berbumbu merupakan salah satu ciri utama masakan Fujian. Salah satu buktinya adalah munculnya kecap dengan aneka jenis dan bahan baku mulai dari kecap ikan, saus tiram, dan lain-lain. Meski begitu, masakan Fujian menekankan pentingnya rasa asli bahan-bahan yang dimasak, ketimbang menutupinya dengan rasa bumbu yang kelewat pekat. Provinsi Fujian banyak didiami suku Hokkian, yang kelak mendominasi jumlah imigran-imigran Tionghoa di Nusantara.

“Yang masuk ke sini, sebagian besar adalah makanan Hokkian. Hampir semua makanan Tionghoa yang lazim ditemui di Indonesia menggunakan dialek Hokkian.” ujar Aji Bromokusumo, pakar kuliner peranakan Cina ketika diwawancarai awak media di Surabaya Suite Hotel beberapa waktu yang lalu.

Dialek Hokkian ini bahkan dipakai secara terang-terangan dalam berbagai sebutan makanan Cina yang diadopsi di Indonesia, seperti kwetiau, bihun, misoa, bakmi, bakcang, lumpia, sampai kecap. Akibatnya, jenis makanan yang dibawa pun tergolong baru dan serta-merta diadopsi oleh penduduk lokal, seperti teknik budidaya tebu (menghasilkan arak), pengolahan kacang (menghasilkan minyak nabati), dan pengolahan makanan berbahan tepung (menghasilkan mi, kwetiau, dan sebagainya).

Di sisi lain, kekayaan tanah Nusantara pun menyediakan aneka bahan makanan yang tak ditemui di Cina. Ditambah dengan keunikan selera Nusantara, jadilah modifikasi kuliner Cina yang disesuaikan dengan lidah lokal, semisal kecap manis.

“Kecapnya dikenalkan imigran, tapi kecap manisnya asli Indonesia. Di Cina tidak ada kecap manis. Siomay dari yang asli dari Cina pakai kulit dan parutan wortel di atasnya. Di Bandung, siomay malah tanpa kulit. Mi Aceh juga sama, minyak dari Cina, bumbunya lokal. Fleksibel sekali,” tambah Aji.

Luwesnya penerimaan pengaruh Cina ini pun tampak dari segi penyebutan jenis makanan. Meskipun kerap terdapat salah kaprah, tetapi orang-orang Indonesia cenderung menyerap langsung penamaan jenis makanan yang dibawa orang-orang Cina, seperti kwetiau (dari kata “guo tiau”) atau lumpia (dari kata “lun pia”).(ist)

sumber: https://hariansurabaya.com/2023/01/23/oriental-jawa-akulturasi-budaya-nusantara-dan-cina-lewat-kuliner/